Setiap tahun pemerintah
selalu menganugerahkan gelar pahlawan kepada sejumlah tokoh. Tahun ini Presiden
Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada empat tokoh yang
dinilai memiliki jasa besar terhadap Bangsa Indonesia. Penganugerahan gelar ini
diberikan pemerintah berdasarkan Keppres Nomor 115 TK 2014 yang ditandatangani
pada 6 November 2014. Upacara penyerahan gelar dihadiri oleh Wakil Presiden
Jusuf Kalla, Ibu Negara Iriana, Mufida Kalla, pimpinan lembaga negara dan
anggota kabinet Kerja dan diterima oleh ahli warisnya. Berikut adalah nama nama
pahlawan baru pada tahun 2014 :
Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah
Kiai Haji Abdul Wahab
Hasbullah (lahir di Jombang, 31 Maret 1888 – meninggal
29 Desember 1971
pada umur 83 tahun) adalah seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama. KH Abdul Wahab Hasbullah
adalah seorang ulama yang berpandangan modern, dakwahnya dimulai dengan
mendirikan media massa atau surat kabar, yaitu harian umum “Soeara Nahdlatul
Oelama” atau Soeara NO dan Berita Nahdlatul Ulama. Ia diangkat sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 7 November 2014
Ayah KH Abdul Wahab
Hasbullah adalah KH Hasbulloh
Said, Pengasuh Pesantren Tambakberas
Jombang Jawa Timur,
sedangkan Ibundanya bernama Nyai
Latifah.Ia
juga seorang pelopor dalam membuka forum diskusi antar ulama, baik di
lingkungan NU, Muhammadiyah dan
organisasi lainnya. Ia belajar di Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Mojosari Nganjuk, Pesantren Tawangsari Sepanjang, belajar
pada Syaikhona R. Muhammad Kholil Bangkalan, Madura, dan Pesantren Tebuireng Jombang di bawah asuhan
Hadratusy Syaikh KH. M. Hasyim Asy‘ari. Disamping itu, Kyai Wahab juga merantau
ke Mekkah untuk berguru kepada Syaikh Mahfudz
at-Tirmasi dan Syaikh Al-Yamani dengan hasil nilai istimewa.
KH. Abdul Wahab Hasbulloh merupakan
bapak Pendiri NU Selain itu juga pernah menjadi Panglima Laskar Mujahidin
(Hizbullah) ketika melawan penjajah Jepang. Ia juga tercatat sebagai anggota
DPA bersama Ki Hajar Dewantoro.
Tahun 1914 mendirikan kursus bernama “Tashwirul
Afkar”.
Tahun
1916 mendirikan Organisasi Pemuda Islam bernama Nahdlatul Wathan, kemudian pada 1926
menjadi Ketua Tim Komite Hijaz. KH. Abdul Wahab Hasbulloh juga seorang pencetus
dasar-dasar kepemimpinan dalam organisasi NU dengan adanya dua badan, Syuriyah
dan Tanfidziyah sebagai usaha pemersatu kalangan Tua dengan Muda. KH. A. Wahab
Hasbullah adalah pelopor kebebasan berpikir di kalangan Umat Islam Indonesia,
khususnya di lingkungan nahdhiyyin. KH. A. Wahab Hasbullah merupakan seorang
ulama besar Indonesia. Ia merupakan seorang ulama yang menekankan pentingnya
kebebasan dalam keberagamaan terutama kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk
itu kyai Abdul Wahab Hasbullah membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar
(Pergolakan Pemikiran) di Surabaya pada 1914.
Mula-mula
kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat
prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang
dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat
kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda.
Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk
memperdebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.Tashwirul
Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi
dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasional sekaligus jembatan bagi
komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Karena sifat rekrutmennya
yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula
kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang
gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.
Bersamaan
dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, Kyai Abdul Wahab Hasbullah
bersama KH. Mas Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam
organisasi Nahdlatul Wathan
(Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada 1916.
Dari organisasi inilah Kyai Abdul Wahab Hasbullah mendapat kepercayaan dan
dukungan penuh dari ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran dengannya. Di
antara ulama yang berhimpun itu adalah Kyai Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), Kyai
Abdul Halim, (Leimunding Cirebon), Kyai Alwi Abdul Aziz, Kyai Ma’shum (Lasem)
dan Kyai Cholil (Kasingan Rembang). Kebebasan berpikir dan berpendapat yang
dipelopori Kyai Wahab Hasbullah dengan membentuk Tashwirul Afkar merupakan
warisan terpentingnya kepada kaum muslimin Indonesia. Kyai Wahab telah
mencontohkan kepada generasi penerusnya bahwa prinsip kebebasan berpikir dan
berpendapat dapat dijalankan dalam nuansa keberagamaan yang kental. Prinsip
kebebasan berpikir dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualisme umat
beragama dan kadar keimanan seorang muslim. Dengan prinsip kebebasan berpikir
dan berpendapat, kaum muslim justru akan mampu memecahkan problem sosial
kemasyarakatan dengan pisau analisis keislaman.
Pernah
suatu ketika Kyai Wahab didatangi seseorang yang meminta fatwa tentang Qurban
yang sebelumnya orang itu datang kepada Kyai Bisri Syansuri. “Bahwa menurut
hukum Fiqih berqurban seekor sapi itu pahalanya hanya untuk tujuh orang saja”,
terang Kyai Bisri. Akan tetapi Si Fulan yang bertanya tadi berharap anaknya
yang masih kecil bisa terakomodir juga. Tentu saja jawaban Kyai Bisri tidak
memuaskan baginya, karena anaknya yang kedelapan tidak bisa ikut menikmati
pahala Qurban. Kemudian oleh Kyai Wahab dicarikan solusi yang logis bagi Si
Fulan tadi. “Untuk anakmu yang kecil tadi belikan seekor kambing untuk dijadikan
lompatan ke punggung sapi”, seru kyai Wahab.
Dari
sekelumit cerita di atas tadi, kita mengetahui dengan jelas bahwa seni
berdakwah di masyarakat itu memerlukan cakrawala pemikiran yang luas dan luwes.
Kyai Wahab menggunakan kaidah Ushuliyyah “Maa laa yudraku kulluh, laa yutraku
julluh”, Apa yang tidak bisa diharapkan semuanya janganlah ditinggal sama
sekali. Di sinilah peranan Ushul Fiqih terasa sangat dominan dari Fiqih
sendiri.
Letjen TNI
(Purn) Djamin Ginting (lahir di
Desa Suka,
Tiga Panah, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, 12 Januari 1921 – meninggal
di Ottawa, Kanada, 23 Oktober 1974
pada umur 53 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan menentang pemerintahan Hindia Belanda di Taneh Karo yang diangkat sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 7 November 2014Djamin
Ginting dilahirkan di desa Suka,
kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo. Setelah menamatkan
pendidikan sekolah menengah dia bergabung dengan satuan militer yang
diorganisir oleh opsir-opsir Jepang. Pemerintah Jepang membangun kesatuan tentara yang terdiri dari
anak-anak muda di Taneh Karo guna
menambah pasukan Jepang untuk mempertahankan kekuasaan
mereka di benua Asia. Djamin Ginting muncul sebagai seorang
komandan pada pasukan bentukan Jepang itu.
Rencana
Jepang untuk memanfaatkan putra-putra Karo
memperkuat pasukan Jepang kandas setelah Jepang menyerah
kepada sekutu pada Perang Dunia II.
Jepang menelantarkan daerah kekuasaan mereka di Asia
dan kembali pulang ke Jepang. Sebagai seorang
komandan, Djamin Ginting bergerak cepat untuk mengkonsolidasi pasukannya. Dia
bercita cita untuk membangun satuan tentara di Sumatera Utara. Dia menyakinkan anggotanya
untuk tidak kembali pulang ke desa masing masing. Ia memohon kesediaan mereka
untuk membela dan melindungi rakyat Karo dari setiap kekuatan yang hendak
menguasai daerah Sumatera Utara.
Situasi politik ketika itu tidak menentu. Pasukan Belanda dan Inggris masih berkeinginan untuk menguasai
daerah Sumatera.
Dikemudian hari anggota pasukan Djamin Gintings ini akan
mucul sebagai pionir-pionir pejuang Sumatera bagian Utara dan Karo. Kapten Bangsi
Sembiring, Kapten Selamat Ginting, Kapten Mumah
Purba, Mayor Rim
Rim Ginting, Kapten Selamet
Ketaren, dan lain lain adalah cikal bakal Kodam II/Bukit
Barisan yang kita kenal sekarang ini. Ketika Letkol. Djamin Gintings menjadi wakil komandan Kodam II/Bukit
Barisan, dia berselisih paham dengan Kolonel M. Simbolon yang ketika itu menjabat sebagai
Komandan Kodam II/Bukit
Barisan. Djamin Ginting tidak sepaham dengan tidakan Kolonel M.Simbolon untuk menuntut keadilan dari
pemerintah pusat melalui kekuatan bersenjata. Perselisihan mereka ketika itu
sangat dipengaruhi oleh situasi politik dan ekonomi yang melanda Indonesia. Disatu pihak, Simbolon merasa Sumatera dianak-tirikan oleh pemerintah
pusat dalam bidang ekonomi. Dilain pihak, Ginting sebagai seorang tentara
profesianal memegang teguh azas seorang prajurit untuk membela negara
Indonesia.
Dalam rangka menghadapi gerakan pemberontakan Nainggolan di Medan
(Sumatera Utara) maka Panglima TT I, Letkol
Inf Djamin Ginting melancarkan Operasi Bukit Barisan. Operasi ini
dilancarkan pada tanggal 7 April 1958.
Dengan dilancarkannya operasi Bukit Barisan II ini, maka pasukan Nainggolan dan
Sinta Pohan terdesak dan mundur ke daerah Tapanuli. Dipenghujung masa
baktinya, Djamin Ginting mewakili Indonesia sebagai seorang Duta Besar untuk Kanada. Di Kanada ini pulalah
Djamin Ginting, mengakhiri hayatnya
SOEKARNI
Sukarni Kartodiwirjo memang tidak
memegang peranan sentral dalam perjuangan kemerdekaan, namun peranannya sangat
menentukan. Indonesia mungkin tak akan memproklamasikan kemerdekaannya tanggal
17 Agustus 1945, jika tidak ada Sukarni. Ia menculik Soekarno – Hatta dan
memaksa kedua pemimpin itu menyatakan bahwa Indonesia sudah merdeka. Saat itu Sukarni yang mewakili generasi muda merasa gerah dengan
sikap wait and see yang dipilih Bung Karno dan Bung Hatta menyikapi
menyerahnya Jepang terhadap Sekutu. Kelompok anak muda itu kemudian menculik
Soekarno – Hatta ke Rengasdengklok, Jawa Barat. Setelah ide memanfaatkan vacuum
of power untuk menyatakan kemerdekaan disetujui, maka kedua pemimpin
tersebut dibebaskan kembali ke Jakarta untuk memimpin rapat penyusunan teks
proklamasi.
Sukarni lahir di Blitar tahun 1916.
Ia adalah aktivis militas yang pantang berkompromi. Masa kecilnya diwarnai
dengan berbagai perkelahian dengan anak-anak Belanda. Hampir setiap hari, anak
pedagang sapi ini menantang berkelahi sinyo-sinyo Belanda.
Ketidaksukaannya terhadap penjajah rupanya merupakan pengaruh gurunya, Moh.
Anwar. Pemuda Sukarni sempat menjadi ketua Indonesia Muda cabang Blitar.
Pertemuannya dengan Bung Karno saat menempuh pendidikan di kweekschool (sekolah
guru) di Jakarta, membuatnya makin tertarik pada dunia politik.
Setelah menculik dan memaksa
Soekarno – Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI, Sukarni juga aktif dalam
berbagai episode perjuangan. Tokoh revolusioner pemberani ini berperan besar
dalam perjalanan parlemen Indonesia. Saat negara masih belia, sehingga belum
sempat dilaksanakan Pemilihan Umum, Sukarni mengusulkan agar sebelum terbentuk
DPR dan MPR, tugas legislatif dijalankan oleh KNIP. Sukarni pulalah yang
memperjuangkan pembentukan Badan Pekerja KNIP sebagai lembaga negara yang
mewujudkan kedaulatan rakyat sekaligus pemimpin rakyat. Ia kemudian diangkat
menjadi anggota DPRD dan Konstituante. Namun hubungannya dengan Bung Karno
tidak mulus. Melalui Partai Murba, Sukarni menentang kebijakan-kebijakan
Soekarno. Sikap itu harus dibayar mahal dengan kebebasannya. Sukarni keluar
dari penjara setelah Orde Baru berkuasa. Ia wafat pada 7 Mei 1971 sewaktu
menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung RI.
H.R
Mohammad Mangoendiprojo
H.R
Mohammad Mangoendiprojo dilahirkan pada tanggal 5 Januari 1905 di Sragen.
Semasa hidupnya beliau mengalami perubahan dalam tiga zaman, dari seorang
pangrehpraja yang umum.elikenal sebagai hamba aparat kolonial Belanda, kemudian
di jaman pendudukan Jepang beliau masuk lembaga pendidikan Peta dan saat perang
kemerdekaan beliau terbawa dalam arus kancah revolusi nasional di Surabaya yang
menjaelikannya seorang republikan yang anti Belanda. Mohamad, panggilan akrab
H.R Mohamad Mangoendiprodjo, saat kecilnya sudah mengenyam pendidikan yakni
pendidikan yang diwarnai adat sopan santun mengingat suasana lingkungan
keluarga masih diwarnai tradisi jawa yang memegang adat sopan santun, dimana
perilaku anak didik disesuaikan dengan adat istiadat yang mengutamakan otoritas
orang tua serta mematuhi segala nasehat dan kata orang tua dengan bersendikan
norma-norma agama.
Menyadari masa depan seorang anak banyak
ditentukan oleh factor pendidikan dan faktor keturunan, maka padatahun 1913,
Sastromardjono, ayah Mohammad, terdorong untuk menyekolahkan Mohamad yang saat
itu berusia 8 tahun di Eurpese Lager School (ELS) di Solo, namun padatahun 1915
Mohamad dipindahkan ke ELS di daerah Sragen dengan pertimbangan pendidikan
agamanya, karena di Sragen Mohamad bisa ditipkan di rumah kakak ayahnya,
seorang ulama, untuk mendidik agama. Pada tlihun 1921 Mohamad lulus dari ELS
kemudian melanjutkan ke Sekolah Teknik di Yogyakarta namun tidak sampai
lulus, karena Mohamad memang tidak berbakat di bidang teknik, ayahnya
mendaftarkannya di Opleiding School Voor Inlandse Ambtenaren (OSVIA) di Madiun
hingga lulus tahun 1927.
Pada masa pendudukan Belanda hingga Jepang
karirnya sebagai pegawai dimulai sebagai pelayan wedana Gorang Gareng di
Madiun, Mantri Polisi Lapangan di Lamongan, Wakil Kepala Jaksa Kalisosok
Surabaya, dan pada talmn 1934 Mohamad dipromosikan menjadi Asisten Wedana
Kecamatan Diwek Jombang.
Pada pendudukan Jepang jiwa Mohamad terpanggil untuk mengikuti pendidikanPembela Tanah Air (PETA) dan diangkat menjadi daidanco (Komandan Batalyon) PETA di Daidan (Batalyon) III Sidoarjo, Surabaya.
Pada pendudukan Jepang jiwa Mohamad terpanggil untuk mengikuti pendidikanPembela Tanah Air (PETA) dan diangkat menjadi daidanco (Komandan Batalyon) PETA di Daidan (Batalyon) III Sidoarjo, Surabaya.
Di Sidoarjo di bawah kepemimpinannya, jiwa
keprajuritan jiwa persatuan dan kesatuan membela tanahair dibangkitkan kembali
setelah lenyap terbuai semenjak abad 17 dan saat revolusi pecah, Mohamad
bersama ex perwira PETA lainnya membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Tugas
dan jabatan lain yang dipegang dalam ketentaraan antara lain bendahara BKR di
masa BKR Propinsi dipimpin oleh Moestopo dan menjadi Kepala Urusan Angakatan
Darat saat Menteri Pertahanan RI ad Interirn dijabat oleh
Moestopo.
Pada tahun 1950 hingga 1988 karirnya dilalui
sebagai abdi Negara lagi yakni sebagai Pamong Praja, tahun 1950-1955 menjadi
Bupati Ponorogo, tahun 1955 Mohamad memperoleh promosi diangkat menjadi Residen
Lampung sampai pensiun di tahun 1962, sejak 1971 Mohamad terpilih menjadi
Anggota Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai utusan daerah Lampung
hingga 1992.
Pada usia senjanya, Mohamad memperoleh pengakuan
dan penghargaan dari pemerintah Republik Indonesia atas pengabdiannya dalam
perjuangan Nasional di masa lampau, pada tanggal 14 Agustus 1986 di Istana
Negara Jakarta bersama dengan 10 orang tokoh lain, Mohamad dianugerahi Bintang
Mahaputra langsung dari Presiden Soeharto sebagai penghargaan tertinggi atas
jasa-jasanya terhadap negara dan bangsa Indonesia.